hubungan antar manusia terkadang meninggalkan goresan-goresan luka dalam hati kita, orang bilang…. sakit hati! . Dari sakit hati yang ringan, seperti tersingung, hingga sakit hati luarbisa sebagaimana balas dendamnya seorang yang di sakiti kepada yang menyakitinya.
Sungguh tidak damainya dunia ini bila kehidupan hanya di penuhi dengan aksi dan reaksi dari sakit hati. Apakah kedamaian berada nun jauh diluar sana?. Tidak! , sungguh… justru kebahagiaan itu ada di dalam hati kita.
Kedamaian dan kegersangan hidup semua ada dalam hati kita, tergantung bagaimana kita menata dan menguasai hati di bawah binbingan Allah yang maha Rahman dan maha Rahim.
Sungguh indah dan amat mempesona memiliki hati yang tak pernah sakit. Tidak tersiksa dengan apapun yang ‘menyerang’ hati. Kita merdeka dari penjajahan dan belenggu hasutan yang menyesakkan dada.
Orang yang tidak pernah sakit hati adalah orang yang bisa menata dan menguasai hati ataupun perasaan terhadap segala informasi atau saya sebut sebagai ‘serangan’ dari luar. Ada begitu banyak kata-kata dari teman, istri, suami, anak, atasan, mertua, rekan bisnis dan semua orang yang berinteraksi dengan kita, begitu menyakitkan, amat menyesakkan dada, seolah diri ini tiada harganya, sungguh menghinakan…, merasa terkhianati!.
Serangan-serangan tersebut memiliki potensi membuat hati terluka, teriris pedih. Namun saya katakan disini, mungkin buat sebagian orang potensi tersebut akan menjelma menjadi sebuah reaksi negatif yang akan kembali menyerang balik dengan kata-kata atau perlakuan yang lebih dahsyat efeknya. Yang tiada akan pernah berhenti untuk saling menyakiti. Duh, dimana gerangan kebahagiaan dan ketenangan itu berada…?.
Sudah saya katakan bahwa reaksi seperti diatas hanya buat sebagian orang yang secara emotional tidak dewasa, bukankah kita semua tahu bahwa saat ini sedang marak pengembangan kecerdasan emotional sebagai satu elemen kunci keberhasilan hidup disamping kecerdasan spiritual ?. (sudah baca ESQ-nya mas Ary? )
Bagi sebagian orang lain yang sudah memahami ‘emotional dan Spiritual Quotient” maka akan beda dalam menyikapi hal tersebut diatas. Untuk menyikapi ‘serangan’ diatas, maka kita akan memilih sikap untuk menahan diri dan berusaha memahami situasi dan emosional orang lain sehingga tidak akan keluar reaksi negatif.
Alangkah baiknya kita hadirkan tauladan dari sang guru dalam masalah ini. Ketika Rasulullah sedang sujud di depan kabah, tiba-tiba ada seorang quraisy yang dengki, menabur kotoran onta ke atas kepala rasulullah, bagaimana sikap rasulullah ?, rasulullah tidak memarahi orang tersebut, karena beliau tahu bahwa orang yang usil tersebut belum memahami apa yang rasul bawa. Kanjeng nabi dapat menata hatinya untuk bersikap terbaik.
Kemudian bagaimana sikap rasulullah kepada seorang kafir yang selalu meludahi kepalanya dari atas pohon, setiap subuh saat beliau akan ke masjid ?, nabi tidak mencak-mencak lalu menyumpahi orang tersebut, namun sebaliknya saat orang yang meludahi tersebut sakit beliau datang membawa buah tangan untuk menengoknya, sembari mendoakan agar lekas sembuh. Akhlak macam apa ini, kalau bukan karena pemahaman paripurna dalam menata hati.
Tiada yang membedakan kita dengan nabi Muhammad selain beliau Allah angkat menjadi nabi. Kita memiliki anggota badan sebagaimana rasulullah, kita pun memiliki hati yang berubah-ubah yang sama. Artinya kita dapat memiliki sikap dan akhlaq yang sama dengan nabi. Karena memang rasulullah diutus kemuka bumi ini untuk memperbaiki akhlaq dan tugas kita adalah untuk mencontohnya.
Positif thinking atau bahasa kerennya Husnudzon adalah kunci dalam bersikap untuk mengelola hati. Dalam menyikapi ‘serangan’ dari luar maka kita akan sebanyak mungkin mengumpulkan persangkaan-persangkaan yang baik terhadap lawan bicara kita. Mungkin dia sedang ada masalah di keluarga, atau mungkin usahanya bangkrut dan alasan lain yang menjadikan hati kita maklum dan memahami bahwa apa yang dikatakannya adalah bukan dalam rangka menyakiti kita.
Puncak dari ketinggian kecerdasan emosi (baca : akhlaq), adalah manakala kita memliki prinsip bahwa segala sesuatu akan ada perhitungannya di sisi Allah Al Hasiib ( sang maha penghitung). So kalau memang orang lain tersebut berniat buruk kepada kita, tidak usahlah kita membalas dengan keburukan pula, biarlah Allah yang akan membalasnya dan itu adalah sebaik-baik balasan. Selain dunia yang penuh dengan fitnah ini, masih ada pengadilan akherat yang maha adil.
Rugi rasanya hati yang satu-satunya ini harus di penuhi dengan sifat iri dengki penuh dendam kesumat, karena ketenangan batin tidak akan bercampur dengan yang seperti itu. Penuhilah hati kita dengan kelapangan dada, penuh ma’af, pemurah, damai, kasih sayang, selalu berprasangka baik, dan sifat ilahiah lain yang terangkum dalam asmaul husna.
Dengan begitu saya jamin kita akan tumbuh menjadi manusia yang merdeka dari penjajahan dan belenggu hati yang buruk. Dan akan menjadi hati yang tenang, sejuk dan damai, ‘hati yang tak pernah sakit hati’. Semoga
widoyo
--- sebanyak manfaat sebaik manusia ---
Monday, June 18, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)