Suatu hari yang sejuk... sahabat saya berkisah tentang masa-masa sulit dalam bisnisnya. Sebelum tahun 1998 usaha komputernya sangat bagus. Pelanggannya banyak, usaha lancar berjalan dengan beberapa karyawan.
Sejak lulus sekolah tahun 1996 sahabat saya ini tidak pernah menggunakan ijazahnya untuk bekerja. Dia langsung bergabung dengan seniornya untuk berbisnis.
Gejolak negara tahun 1998 berefek luar biasa pada bidang bisnis. Termasuk bisnis beliau. Nilai tukar rupiah anjlok mengakibatkan harga komputer melangit. Sejak itu tidak ada lagi penjualan. Semua bisnis berhenti. Sedangkan dana cadangan tergerus overhead. Akibatnya devisa perusahaan minus. Bisa dibilang saat itu sahabat saya mengalami kebangkrutan.
Usaha komputernya terhenti. Ada beberapa orang investor yang menanamkan dananya di bisnis beliau. Dalam kondisi terpuruk tersebut beliau datangi mereka satu persatu. Menjelaskan kondisi bisnisnya. Dan menawarkan apakah dana mereka dijadikan piutang atau dijadikan saham bagi usaha barunya. Semua investornya mempercayakan kembali dananya di kelola sahabat saya tersebut.
Gegara pager -nya (pager adalah alat komunikasi satu arah zaman 1990-an) berulang kali berbunyi dari banyak konsumen untuk memperbaiki komputer mereka. Hal ini karena hampir semua toko komputer di glodog tutup.
Akhirnya dia memulai dengan fokus usaha di jasa perbaikan komputer. Dengan kelihaiannya dalam berbisnis, dalam waktu singkat pelanggannya terus bertambah dan usaha berkembang pesat.
Beberapa waktu kemudian beliau melihat peluang usaha wartel. Saat itu handphone belum seperti sekarang. Memiliki hp merupakan kemewahan. Sehingga orang lebih memilih wartel untuk berkomunikasi.
Untuk membuka usaha wartel dibutuhkan 18 juta. Beliau penasaran dan meneliti sumber pembuatan wartel hingga ke surabaya. Singkat cerita dia menggebrak pasar dengan harga 15 juta dengan sistem bisnis yang menguntungkan pembeli. Dalam waktu singkat pesanan membludak. Kewalahan dengan permintaan akhirnya dia banyak mempekerjakan teknisi. Para pemilik modal tersenyum, dana mereka terjaga dan berkembang. Bagi hasil di tunaikan sesuai perjanjian.
Kisah lama tersebut tergiang di kepala, ketika sore ini saya membaca otobiograpi manusia ide, Mochtar Riady. Pemilik Lippo Grup.
Tahun 1959 pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan moneter tentang pemotongan nilai mata uang rupiah. Hal tersebut berefek pada bisnis. Pak Mochtar Riady bercerita saat itu dia bangkrut.
Supaya lebih jelas saya nukilkan secara langsung apa yang dilakukannya pada halaman 55.
"menghadapi kemalangan ini, langkah pertama yang saya ambil adalah segera menyelesaikan semua utang yang berjumlah kecil, tersisa tiga kreditor besar yang belum mampu saya lunasi. Tapi dengan maksud baik dan tulus, saya datangi mereka satu persatu. Saya jelaskan tentang kesulitan yang saya hadapi dan bersedia menyerahkan rumah tinggal saya serta seluruh stok barang yang saya miliki sebagai kompensasi pelunasan utang. Niat baik dan tulus saya mendapat sambutan dan simpati mereka. Lalu mereka memberi kelonggaran waktu pelunasan selama dua tahun tanpa bunga."
Buku itu bercerita bahwa dalam 2 tahun beliau berhasil melunasi semua hutang plus dengan bunganya (walau sudah di bebaskan).
*******
Gentlemen, itu kata yang tepat untuk dua kisah diatas. Karakter pengusaha sejati tidak pernah lari dari masalah. Hanya pengusaha kelas rendah saja yang berlari dari hutang.
Sungguh kisah luar biasa, bagaimana kita menggunakan energi kebangkrutan sebagai amunisi pada kebangkitan bisnis.
Bisnis yang bangkrut bukanlah akhir dari segalanya. Selama niat baik dan rasa amanah masih di pegang maka kepercayaan orang lain akan menyertai kita.
Bisnis bukan hanya masalah untung rugi, bisnis adalah kepercayaan untuk bangkit bersama. Walau butuh waktu yang tidak sebentar untuk membangun citra diri sebagai pengusaha yang tekun lagi terpercaya.
Semoga rekan-rekan pengusaha yang membaca kisah ini kelak menjadi pengusaha yang berintegritas sebagaimana Muhammad sang teladan berbagi inspirasi dalam berbisnis. amin.